Inne's Blog

MEREBUT KEMBALI KEJAYAAN ISLAM

MY QUR’AN Desember 24, 2009

Bidadari kecil Penghafal Quran

URGENSI MENGAJARKAN AL QUR’AN


Written by Admin
Wednesday, 05 August 2009
Bukhari meriwayatkan dalam kitab sahihnya dari Utsman r.a. bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: “Sepaling baik kalian adalah orang yang mempelajari Al Quran dan mengajarkannya”.

Al Quran adalah objek yang paling utama untuk dipelajari dan diajarkan. Zarkasyi berkata dalam kitabnya “Al Burhan”: “Para ulama sahabat kami mengatakan: mengajarkan Al Quran adalah fardhu kifayah, demikian juga menghapalnya, adalah wajib bagi umat Islam.”

Makna kewajiban itu –seperti dikatakan oleh Al Juwaini— adalah agar jumlah mata rantai berita mutawatir tidak terputus, dan tidak terjadi penggantian dan perubahan terhadap Al Quran. Jika sebagian orang mengerjakan kewajiban itu, maka kewajiban itu terbebas bagi yang lainnya. Jika tidak, maka semua umat Islam mendapatkan dosa. Jika dalam suatu negeri atau kampung tidak ada yang membaca Al Quran, maka semua penduduk negeri itu mendapatkan dosa. Jika ada sekelompok orang yang dapat mengajarkan Al Quran, kemudian ia diminta untuk mengajar, namun ia menolak, ia tidak berdosa menurut pendapat yang paling sahih.

Seperti dikatakan oleh An Nawawi dalam kitab At Tibyan. Bentuk masalah ini adalah: jika sesuatu maslahat tidak hilang dengan penundaan itu maka ia dapat menolak. Sementara jika hilang, maka ia tidak boleh menolak permintaan itu.

Namun, apa yang yang dimaksud dengan mempelajari dan mengajarkan Al Quran? Yang dimaksud adalah: menghapal kata-kata dan huruf-huruf Al Quran dalam hati. Ini adalah tugas yang dilakukan oleh katatib (pondok-pondok penghapal Al Quran) pada masa lalu, dan sebagiannya masih ada hingga saat ini, sementara saat ini tugas itu dilakukan oleh sekolah tahfizh Al Quran. Itu dapat masuk dalam pengertian belajar dan mengajarkan Al Quran. Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa inilah yang dimaksud itu, bukan lainnya.

Barangkali inilah rahasia mengapa orang amat memberikan perhatian terhadap penghapalan Al Quran, memuliakan para penghapalnya, dan menyiapkan hadiah serta pemberian uang yang banyak bagi para penghapal Al Quran. Sehingga ada sebagian penghapal Al Quran yang mendapatkan hadiah dalam musabaqah yang diselenggarakan di Qathar sebesar lima puluh ribu rial, di tambah mobil yang lebih mahal dari jumlah itu. dan pada tahun kedua ia mendapatkan hadiah yang hampir sama dengan itu!

Kecenderungan seperti inilah yang mendorong kami untuk mengkritik dalam buku-ku “Fi Fiqh al Awlawiyaat”, yaitu ketika saat ini tindakan menghapal Al Quran lebih dilihat penting dibandingkan dengan usaha untuk memahaminya. Para penghapal lebih dihormati dan lebih diperhatikan dibandingkan para faqih (ahli agama).

Al Quran mendefinisikan tugas Nabi Saw adalah: “mengajarkan Al Quran dan Hikmah”, dalam empat ayat Al Quran40. Dan tentunya yang dimaksudkan dengan “mengajarkan” ini bukan “mengajarkan menghapal”, dengan dalil perintah itu diiringi dengan tugas membacakan ayat-ayat Al Quran kepada mereka:

“Yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah.” (Ali Imran: 164). Maka mengajar lebih khusus dari membaca. Belajar dan mengajar inilah yang diungkapkan oleh sebagian hadits sebagai “tadaarus”.

Dalam sahih Muslim dari Abi Hurairah r.a. bahwa Nabi Saw bersabda: “Setiap sekelompok orang berkumpul di suatu rumah Allah, membaca kitab Allah, dan mentadaruskan Al Quran di antara mereka, maka ketenangan akan diturunkan kepada mereka, dan mereka akan dipenuhi oleh rahmat Allah, dikelilingi para Malaikat, dan Allah SWT akan mengingat dan menyebut mereka yang hadir di majlis itu”.

Makna tadarus Al Quran adalah: berusaha untuk mengetahui lafazh-lafazh dan redaksinya, pemahaman dan maknanya, serta ibrah yang dikandungnya, serta hukum hukum dan etika yang diajarkannya.

“At Tadarus” adalah wazan tafa`ul dari ad dars, maknanya adalah: salah satu pihak atau beberapa pihak mengajukan pertanyaan, dan pihak lainnya menjawab pertanyaan itu, pihak ketiga mengkaji lebih lanjut, dan pihak selanjunya berusaha mengoreksi atau melengkapinya. Inilah yang dimaksud dengan tadarus.

Tadarus inilah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw bersama utusan wahyu Jibril a.s. pada bulan Ramadhan setiap tahun. Seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abbas s.a., saat Jibril turun kepada Rasulullah SAW, dan mentadaruskan Al Quran bersama beliau.

Mudarasah (pengkajian) Al Quran yang paling baik adalah yang dilakukan oleh dua pihak utusan Allah SWT yang mulia: utusan Allah SWT dari langit, dan utusan Allah SWT di bumi!.

Dalam mempelajari Al Quran tidak cukup hanya dengan menghapal baris barisnya, dan mengingat ayat-ayatnya, kemudian tidak memahami maknanya, meskipun tetap mendapatkan pahala dengan sekadar mengingat dan menghapalnya, sesuai dengan niatnya. Namun seharusnya ia berusaha untuk memahami –semampunya— apa yang diinginkan oleh Allah SWT darinya, sesuai kadar kemampuan daya tangkapnya: “Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya.” (Ar Raad: 17).

Ini ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh `Uqbah bin Amir r.a., ia berkata: Rasulullah SAW keluar kepada kami saat kami berada di ash shuffah, dan bersabda: “Siapa yang mau pergi pada pagi hari setiap hari ke daerah Buthhan –Atau ke Aqiq— kemudian mengambil dua unta yang gemuk dari sana, tanpa melakukan dosa atau membuat putus hubungan silaturahmi”? Kami menjawab: Wahai Rasulullah Saw, kami semua mau melakukan itu. Beliau bersabda: “Bukankah jika salah seorang kalian pergi ke mesjid pada pagi hari dan mempelajari –atau membaca— dua ayat dari Kitab Allah SWT lebih baik baginya dua unta, dan tiga ayat lebih baik dari tiga unta, empat ayat lebih baik dari empat unta, dan dari bilangan ayat-ayat itu lebih baik dari sejumlah unta dengan bilangan yang sama?!”. Bath-han adalah tempat dekat Madinah. Aqiq adalah lembah Madinah. Sementara Al Kauma adalah unta besar yang gemuk.

Aku kira mempelajari dua tiga atau empat ayat di sini: tidak berarti menghapalkan huruf-hurufnya saja, namun yang dimaksud adalah mempelajari kandungan ilmu dan amalnya sekaligus. Oleh karena itu hadits itu mengurangi bilangannya, sehingga dapat dipahamai dan amalkan dengan lebih mudah.

Inilah cara para sahabat r.a. dalam mempelajari Al Quran. Seperti telah kami jelaskan sebelumnya. Dan dengan cara seperti ini, ayat yang dipelajari oleh seorang Muslim akan menjadi cahaya dan bukti baginya pada hari kiamat. Seperti diriwayatkan oleh Abu Umambahwa Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang mempelajari satu ayat dari Kitab Allah, niscaya ayat itu akan menyambutnya pada hari Kiamat sambil tertawa di hadapannya”.

Kewajiban-kewajiban Intelektual dan Keimanan bagi Penghapal Al Quran
Written by Admin
Thursday, 16 July 2009
Al Qurthubi berkata dalam “Bab tentang Apa yang Seharusnya Dilakukan oleh Penghapal Al Quran bagi Dirinya, dan Tidak Melalaikannya”.

Yang pertama adalah: agar ikhlas dalam menuntut ilmu seperti telah kamikatakan sebelumnya, dan agar membaca Al Quran pada malam dan siang hari, dalam shalat dan di luarnya, hingga ia tidak melupakannya. Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang hapal Al Quran adalah seperti pemilik unta yang diikat, jika ia memperhatikan dan menjaganya maka ia dapat terus memegangnya, dan jika ia biarkan maka ia seger pergi, dan jika seorang penghapal Al Quran membacanya pada malam dan siang hari, maka ia dapat terus mengingatnya, dan jika tidak maka ia segera melupakannya “.

Dan ia harus memuji Allah SWT, mensyukuri nikmat-nikmat-Nya, berdzikir kepada-Nya, bertawakkal kepada-Nya, meminta tolong kepada-Nya, bertujuan untuk-Nya, meminta penjagaan kepada-Nya dan mengingat kematian serta mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian itu.

Ia harus mengkhawatirkan dosanya, meminta ampunan kepada Rabb-nya, dan hendaknya perasaan takut dalam keadaan sehat lebih ia rasakan, karena ia tidak tahu kapan akan menemui ajalnya, dan harapan kepada Rabb-nya saat ia menemui ajal hendaknya lebih kuat dalam dirinya, dan berperasangka baik kepada Allah SWT.

Rasulullah SAW bersabda: “Tidak mati seseorang dari kalian, kecuali ia berperasangka baik kepada Allah SWT”. Maksudnya, prasangka bahwa Dia akan mengasihinya serta memberikan ampunan kepadanya. Hendaknya ia mengetahui penguasa pada masanya, menjaga diridari kekuasaannya, berusaha untuk menjauhkan dirinya dari penguasa itu, dan menjaga kelurusan hidupnya, serta menjauhkan dirinya sedapat mungkin dari godaan dunianya, dan ia berusaha keras dalam hal itu sekuat tenaga.

Dan hendaknya perkaranya yang paling penting adalah wara` dalam agamanya, bertaqwa kepada Allah SWT, dan memperhatikan perintah dan larangan Allah SWT. Ibnu Mas`ud berkata: pembaca Al Quran hendaknya mengetahui malamnya saat manusia tidur, dan siangnya saat manusia bangun, dengan tangisnya saat manusia tertawa, dengan diamnya saat manusia ribut, dengan kekhusyu`annya saat manusia gelisah, serta dengan kesedihannya saat manusa gembira ria.

Abdullah bin Amru berkata: tidak seharusnya seorang penghapal Al Quran ikut larut bersama orang lain saat mereka tenggelam dalam dunia, tidak turut bodoh bersama orang bodoh, namun ia memberi maaf bagi orang lain, dan menampilkan dirinya dengan lembut dan berwibawa.

Ia harus bertawadhu` terhadap para fakir miskin, menjauhkan takabbur dan memuji diri sendiri, menjauhi dunia dan anak-anak dunia jika ia takut terhadap fitnah, meninggalkan pertengkaran dan perdebatan, serta bersikap lembut dan berakhlak mulia. Ia harus menjadi orang yang tidak menimbulkan kejahatan, kebaikannya diharapkan, tidak membuat kerusakan, tidak memperdulikan orang yang mengadu dombanya, bersahabat dengan orang yang membantunya dalam melakukan kebaikan, yang menunjukkannya kepada kejujuran dan akhlak yang mulia, serta yang menghiasi dirinya bukan mengotorinya.

Hendaknya ia mempelajari hukum-hukum Al Quran dan meminta pemahaman dari Allah SWT akan keinginan-Nya dan kewajiban yang harus ia jalankan, sehingga ia dapat mengambil manfaat dari apa yang ia baca, mengerjakan apa yang baca, karena bagaimana mungkin ia mengamalkan sesuatu yang ia tidak pahami? Dan alangkah buruknya orang yang ditanyakan tentang apa yang ia bacaan namun ia tidak tahu. Jika demikian maka ia seperti kuda yang membawa kitab-kitab besar (namun tidak memahami sedikitpun isi kitab-kitab itu)!

Ia harus mengetahui bagian Al Quran Makiah dan Madaniah, sehingga ia mengetahui mana yang ditujukan kepada manusia pada awal Islam, dan mana yang diturunkan pada akhir masa kenabian, apa yang diwajibkan oleh Allah SWT pada awal Islam,dan apa yang ditambah kemudian dari kewajiban-kewajiban itu pada masa akhir kenabian.Bagian Madaniah adalah pengganti bagian Makiah, dan bagian Makiah tidak mungkin menjadi pengganti bagian Madaniah. Karena yang terhapus (tergantikan) dari ayat-ayat itu adalah apa yang diturunkan sebelum ayat pengganti (nasikh).

Al Qurthubi berkata: jika point-point tadi telah dikuasai oleh penghapal Al Quran, maka ia menjadi orang yang ahli Al Quran, dan iamenjadi orang yang dekat Allah SWT. Ia tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang kami sebutkan sebelumnya hingga ia mengikhlaskan niatnya kepada Allah SWT semata, baik saat ia menuntut ilmu maupun setelahnya. Seorang penuntut ilmu dapat saja memulia pencariannya itu dengan tujuan untuk kebanggaan dan kemuliaan dunia, hingga akhirnya ia mengetahui kesalahan niatnya itu, maka ia bertaubat dari hal itu dan mengikhlaskan niatnya kepada Allah SWT, dan ia pun dapat mengambil manfaat darinya dan memperbaiki perilakunya. Al Hasan berkata: kami sebelumnya menuntut ilmu karena dunia, namun kemudian kami tarik diri kami ke akhirat. Sufyan Tsauri juga berkata seperti itu. sementara Habib bin Abi Tsabit berkata: Kami menuntut ilmu tidak disertai niat, kemudian datang niat itu setelahnya.

 

Tinggalkan komentar